Sepatu Baru Radit

 




Sepatu Baru Radit

(Sepenggal Kisah PTMT)


Oleh: Ari Susanah, S.Pd.



Sudah sekitar 30 menit berlalu, bocah remaja 13 tahun bernama Radit itu, tak beranjak dari tempat duduk di teras depan rumah kecilnya. Dia terlihat menunduk tak bersemangat. Padahal dia sudah terlihat rapi dengan seragam dan sepatu barunya. Dari penampilannya, sepertinya ia akan pergi berangkat ke sekolah, yang tak jauh dari rumahnya. Jika ditempuh dengan berjalan kaki, kira-kira akan sampai hanya dalam waktu 7 hingga 10 menit saja.


Ibunya terlihat mengamati dari dalam rumah sambil memakaikan baju adik satu-satunya “Rafi” yang baru menginjak usia (taman kanak-kanak) TK. Seorang ibu yang masih terlihat muda sekitar usia 35 tahunan itu adalah Ibu Radit. Ibu adalah seorang wanita tegar dan gigih. Selepas suaminya tak bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan, ibu banting tulang ikut membantu perekonomian keluarga. Tanpa modal yang cukup, Ibu membuka usaha Loundry cuci gosok di rumahnya. Sementara Ayah Radit, bekerja serabutan.


Pandemi covid-19 ini banyak meninggalkan luka bagi keluarga kecil mereka. Selain menyebabkan perekonomian keluarga menjadi kurang stabil, salah seorang anggota keluarga dekatnya pun ada yang menjadi korban. Nenek Radit yang tinggal di daerah Kuningan telah meninggal akibat wabah tersebut. Ketika itu menjelang kelulusan Radit  dari bangku sekolah dasar (SD). Dan kini setelah 2 tahun pandemi berlalu, Radit sudah beranjak remaja. Dia telah duduk di bangku kelas 8 SMP. 


Daring Penuh, atau Pembelajaran Jarak Jauh Online dari rumah  tak lagi diberlakukan. Itu karena wilayahnya sudah masuk Zona Hijau. Sehingga pemerintah memberi izin sekolah untuk melaksanakan PTMT (Pembelajaran Tatap Muka Terbatas). Inilah yang menjadi permasalahan keluarga Radit. Meskipun di rumahnya ada satu buah gawai (handphone) namun tidak menjadikan solusi bagi pembelajaran yang sekarang ini tengah dihadapi oleh siswa kebanyakkan, termasuk Radit. Gawai dalam satu keluarga itu sungguh multi fungsi. Satu hari dibawa ayahnya bekerja, satu hari ditinggal di rumah untuk menerima pesanan laundry ibunya. Hal inilah yang menyebabkan Radit tidak bersemangat. Karena meskipun Pembelajaran Tatap Muka Terbatas telah dilaksanakan, namun ternyata tetap membutuhkan Gawai sebagai sarananya.


Dalam hatinya kesal dan menggerutu, karena tabungan yang ia kumpulkan selama pandemi, dan dua kali lebaran tak cukup untuk membeli sebuah handphone. Celengan jago miliknya hanya berisikan uang Rp.160.000 saja. Ia ingin membeli sebuah handphone second  atau bekas, namun lagi-lagi kebutuhan lain lebih mendesak. Sepatu yang ia pakai dari sewaktu masih duduk di bangku kelas 6 SD sudah tak lagi muat di kakinya. Ibu dan Ayahnya juga tak mampu membelikan sepatu untuknya. Uang hasil kerja keras orang tuanya sudah habis untuk membelikan seragam sekolah Radit dan adiknya. Uang sisa untuk membeli sepatu pun habis untuk membeli buku. Sebenarnya Radit masih bersyukur. Meski pas-pasan, namun keluarganya tak sampai berhutang kepada siapapun.  Bagaimanapun ia dan keluarganya tak bisa menyalahkan siapapun, mereka sadar bahwa teknologi tak mungkin dihindari. 


“Ini memang sudah zamannya, teknologi semakin maju, tapi kita tak mungkin mundur, hadapi semua yang ada dengan hati lapang dan bersyukur kepada Allah. Semoga hari kedepan kita bisa lebih baik lagi” Kata Ayahnya suatu hari.


Radit anak yang patuh dan rajin membantu kedua orang tuanya. Setiap hari dia membantu Ibunya mengantar baju laundry ke para pelanggannya. Dia hanya berharap semoga keluarganya selalu dalam keadaan sehat. Sehingga mampu bekerja lebih keras lagi untuk menghasilkan uang. Dan bisa membeli sebuah handphone (gawai) satu buah lagi yang bisa ia gunakan untuk sekolah.


Tiba-tiba lamunannya pecah oleh suara panggilan Ibunya dari dalam rumah, 

“Abang, kenapa diam saja, nanti terlambat sekolahnya!”


“Iya Bu, belum juga bunyi bellnya”. Jawab Radit.


“Jangan mentang-mentang deket sekolanya, ayo semangat!!!” Ibunya terus menyemangati.


“Baik Bu,” sambil menyalami dan mencium tangan Ibunya Radit bergegas dari tempat duduknya.


Tak berapa lama ia berpapasan dengan Bagas, salah seorang teman sekolahnya yang juga berjalan kaki ke sekolah.


“Radit, ayo kita berangkat bareng, wahhhh sepatu kamu baru ya?”. Tanya Bagas memecah suasana hati Radit yang tengah murung.


Hmmm iya donk, kan sepatu yang dulu udah gak muat, biar semangat juga nih hari pertama masuk sekolah!” jawab Radit sambil tertawa.


“Widih,... Keren Dit? Sepatu bututku masih muat nih lumayan” jawab Bagas sambil menepuk pundak temannya itu.


Dari pintu pagar rumahnya, Ibunya terlihat mengamatinya hingga di ujung gang. Kemudian  Radit berbelok ke arah jalan menuju sekolah. Itulah sepenggal kisah PTMT.


(Selesai)


Tambun Selatan, 25 September 2021


Assalamualaikum, perkenalkan nama saya Ari Susanah. Saya tinggal di Kabupaten Bekasi Tambun Selatan desa Sumberjaya. Saya menikah, punya 4 orang anak. Profesi saya adalah guru. Saya telah menerbitk…

8 komentar

  1. kisah yg sangat inspiratif
    1. Terima kasih Om Jay
  2. Bagus bund....
    1. Terima kasih Pak Zam
  3. Luar biasa ibu, menikmati sekali membacanya.
    1. Terima kasih Pak 🙏
  4. Bangus bun
    sangat tertarik untuk belajar merangkai kata mksh bnyak bun
    1. Terima kasih 🙏
© Ari Susanah Blog. All rights reserved. Developed by Jago Desain