Malam Pelarian (Kisah Tak Terlupakan kala Pandemi)

 


Malam Pelarian

Karya: Ari Susanah

SMP N 5 Tambun Selatan


Kisah yang tak terlupakan ketika pandemic bagi saya adalah ketika awal diberlakukannya lock down di negara kita ini. Bagaimana tidak, sebenarnya pandemic Covid-19 ini mewabah dari akhir tahun 2019. Namun baru mewabah sekitar awal tahun 2020. Dan saya pun ingat betul, minggu ke dua bulan Maret 2020 seluruh sekolah diminta untuk menghentikan aktifitas pembelajaran tatap muka. Bukan libur, akan tetapi pembelajaran secara langsung digantikan dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau dalam istilahnya adalah Daring (dalam jaringan). Maksudnya dalam jaringan adalah karena tidak lagi diperbolehkan tatap muka di sekolah, dalam kelas secara langsung melainkan melalui jaringan internet. Itulah realita yang terjadi saat itu. Pasti semua orang di dunia pendidikan yang telah mengalaminya sendiri belum lupa dengan masa awal pandemic dan istilah-istilah yang popular digunakan pada saat itu. 

Eitsss… tapi tunggu dulu, tulisan di atas hanyalah prolog. Yang sesungguhnya tak terlupakan ialah sebelum diberlakukan lock down. Saya sempat mendapat kabar dari ibu di kampung bahwa anak saya yang tinggal dengan ibu saya tidak bisa masuk sekolah selama 2 hari karena demam tinggi.  Hal itu tentu saja membuat saya khawatir dan cemas. Anak saya ketika itu baru kelas 2 SD. Dia  merupakan anak pertama kami. Saya dan suami mengijinkan dia untuk tinggal bersama Mbahnya (ibu saya). Karena semenjak bapak saya meninggal, ibu hanya tinggal sendiri. Namun karena tidak ada libur, saya hanya mentransfer sejumlah uang untuk berobat dan untuk menghiburnya. Ketika telpon dia sempat merengek agar saya bisa pulang menjenguknya. Alhamdulillah hanya demam biasa, beberapa hari kemudian ibu mengabarkan melalui ponsel, bahwa anak saya sudah turun panasnya.

Pada saat seminggu setelah diberlakukan lock down di seluruh Indonesia, hal yang sama pun terjadi dengan anak saya di kampung. Padahal baru sehari dia masuk sekolah setelah sakit. Langsung setelah itu terjadi Lock down karena pandemic covid-19. Dari telpon, dia mengeluh karena merasa bosan. Hal tersebut saya sampaikan ke suami. Tanpa berpikir panjang, suami mengajak saya untuk berkemas merapikan pakaian untuk sekitar seminggu. Niat kami ingin menjenguk orang tua, dan anak kami. Kami seakan lupa bahwa lockdown bukanlah libur. 

Kami berangkat dengan mobil, membawa anak kedua, ketiga dan anak ke empat kami untuk ikut serta. Teringat jelas ketika itu sekitar tanggal 20 Maret 2020. Sekitar pukul 04.00 setelah sholat Ashar, kami bertolak dari rumah kami di Bekasi dengan tujuan Purworejo, Jawa Tengah merupakan kampung halaman, dan tempat kelahiran saya. 

Baru saja sampai pintu tol Grand Wisata tiba-tiba gelap. Cuaca cerah seketika berubah, langit mendung. Dan tampak sebentar lagi akan turun hujan. Karena saat itu mulai turun gerimis. Hanya beberapa saat setelah itu hujan pun turun sangat deras, hingga mobil kami seperti terseok-seok tertimpa air hujan dan angin yang sangat kencang. Padahal sebenarnya jalanan sepi dari kendaraan peribadi. Hanya ada beberapa truk pengangkut barang. Sangat berbeda dengan setiap kali kepulangan kami ketika menjelang labaran ataupun liburan. Jalanan begitu padat merayap. Namun meskipun begitu sepi, hati kami merasakan ada yang mengganjal.  Kami tetap memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan mulutku tak berhenti berdoa dan membaca hapalan surat-surat pendek. Sementara suami tetap konsentrasi menyetir, dan anak-anak terlihat tenang menonton kartun kesukaan mereka di layar Hand phone. Hujan deras tak berhenti, kami terjebak dengan suasana itu. Ketika melihat ke arah jam di layar hand phone, saya pun terkejut. Karena waktu Maghrib telah lewat. Sudah sekitar pukul 6.45. sementara kami belum menemukan rest area untuk kami singgahi.

Akhirnya waktu Isya pun tiba, terdengar suara Adzan di sela-sela derai hujan. Terlihat marka jalan rest area kurang 1 km lagi. Kami memutuskan untuk berbelok untuk melaksanakan sholat Maghrib yang di jamak dengan waktu sholat Isya, dan tentu saja sekaligus sholat Isya. Kami beristirahat cukup lama. Ternyata kami baru sadar bahwa kami sudah sampai rest Area Majalengka. Terlihat semua anak tertidur dengan pulas di jok belakang. Suami pun terlihat mengantuk. Ingin tidur sejenak. Namun tiba-tiba terdengar bunyi hand phone nya bergetar. Ada sebuah panggilan masuk dari Pak RW di perumahan kami. Beliau mengabarkan bahwa terjadi kebakaran di RT 05. Api diduga dari korek api yang dinyalakan oleh Dimas (seorang anak berkebutuhan khusus). Dia menyalakan korek api di dalam kamarnya.  Kami langsung panik, meskipun rumah kami terletak di RT 04. Saya langsung melihat status postingan para tetangga, ibu-ibu yang tinggal satu perumahan dengan kami. Rata-rata semua mengabarkan tentang peristiwa yang sama. 

Sebenarnya wajar jika Pak RW mengabari suami. Karena suami adalah salah satu pengurus RW, dan merupakan warga yang aktif di perumahan tersebut. Tentu Pak RW menyangka bahwa suami berada di rumah. Namun suami memohon maaf kepada Pak RW karena tengah berada dalam perjalanan ke Kampung. Setelah beberapa saat api membesar, terdengar kabar bahwa dua mobil Pemadam kebakaran dating untuk memadamkan api. Dan dari kabar chat para tetangga, ada dua orang yang menjadi korban dalam kejadian tersebut. Yaitu seorang anak berkebutuhan khusus bernama Dimas. Dan Pak Aep, tetangga yang rumahnya bersebelahan persisi dengan rumah Dimas. Pak Aep meninggal karena serangan jantung ketika melihat si jago merah tiba-tiba melalap rumah sebelah.

Sempat kami berpikir ingin balik arah, namun kami terlanjur memberi kabar kepada ibu dan anak kami. Sehingga sekitar pukul 10.00 kami tetap memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Dan seketika itu, sekitar 5 kilo ketika kami mulai melanjutkan perjalanan, hal yang sama terjadi. Hujan kembali turun dengan lebatnya. Saya sampai merinding dan ketakutan. Bersyukur suami termasuk orang yang kuat mentalnya. Dalam doa yang tak hentinya terpanjatkan, saya sempat memohon ampun jika perjalanan selama pandemic itu merupakan pelanggaran buat kami. Kami merasa berada dalam keadaan seperti seorang pelarian. Saya takut jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Saya senantiasa mengingatkan suami untuk selalu waspada dalam perjalanan. 

Tak terasa kami telah sampai di pintu tol Pejagan Brebes Jawa Tengah sekitar pukul 02.00 dini hari. Dan hujanpun belum berhenti. Sekitar beberapa meter terlihat ada sebuah POM Bensin terdekat. Karena rasa kantuk kembali menyerang kami, suami memutuskan untuk menepikan mobil  di Pom Bensin tersebut. Kami memutus untuk beristirahat sejenak di bawah hujan yang begitu deras. Hingga terasa air hujan merembes dari sela-sela karet lapisan kaca jendela mobil. Menetes tepat di wajahku. Sementara suami sudah tertidur nyenyak, saya malah sibuk menyumpal lapisan karet yang bocor dengan tisu. Terlihat dari balik kaca yang mengembun dalam mobil, hujan masih sangat deras. Seketika kantukku hilang dan berubah menjadi kakhawatiran. Akhirnya saya pun kembali berdoa, dan berdoa. 

Sekitar dua jam berlalu, suami terbangun. Dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Baru keluar dari Pom Bensin, tiba-tiba mobil oleng dan mengeluarkan asap di bamper depan. Bau asap pun menyeruak. Mobil hampir oleng ke kiri. Dari belakang sebuah truk membunyikan klakson dengan kencangnya, sehingga anak-anak terbangun karena terkejut. Dengan gesit suami langsung menepikan mobil kembali. Di tengah suasana sepi dan masih hujan, suami memeriksa bagian depan mobil. Meskipun sudah mahir menyetir, namun suami bukanlah orang yang paham betul tentang ilmu perbengkelan, apalagi mesin mobil. Dia kembali masuk kedalam mobil dan mengatakan bahwa sepertinya kami harus mencari bengkel. Namun suasana di sekitar terlihat sepi dan gelap. Waktu masih menunjukan pukul 04.00 pagi. Sepertinya sudah hampir subuh. Suami kembali menyalakan starter mobil. Dua tiga kali tidak berhasil. Alhamdulillah yang ke empat kalinya akhirnya mesin mobil menyala. Dengan pelan suami menjalankan mobilnya. Dan Alhamdulillah terdengar suara sholawatan dari sebuah masjid. Tak lama kemudian adzan Subuh pun berkumandang. Kami memutuskan untuk sholat Subuh di Masjid tersebut. 

Setelah sholat, dan berjalan keluar dari masjid saya melihat ada sebuah warung gorengan. Saya mendekat dan membeli makanan dengan anak-anak. Kami menanyakan kepada pemilik warung apakah ada bengkel terdekat dengan masjid tersebut. Dari keterangan si penjual gorengan, ternyata letak bengkel masih lumayan jauh. Dengan ramah suami si pemilik warung gorengan membantu menelponkan si pemilik bengkel untuk memeriksa mobil kami. Tak berapa lama tukang bengkel pun tiba dan langsung memeriksa mobil kami. Dari percakapan antara suami dan tukang bengkel tersebut, telah terjadi kerusakan pada send lampu dan Panbel mobil. Saya tidak benar-benar paham akan istilah permobilan. Yang jelas kami harus ke bengkelnya. Tepat pukul 06.00 kami ke bengkelnya yang berjarak sekitar 10 km dari masjid tempat di mana kami melaksanakan sholat Subuh. Dan karena saat hari Minggu, kami harus menunggu pegawai bengkel tersebut datang sekitar pukul 08.00 lewat. Beruntung mobil kami langsung ditangani. Sekitar pukul 10.00 kami sudah bisa kembali melakukan perjalanan. Kami bersyukur karena akhirnya mobil kami bisa kembali berjalan seperti semula. Malah kata suami mobilnya berasa makin ringan. Mungkin memang saatnya untuk diservis.

Singkat cerita, akhirnya kami sampai lokasi sekitar pukul 13.30. Kami langsung disambut dengan suka cita oleh Ibu dan anak pertama kami. Kami merasa sangat bersyukur, karena paling tidak kami bisa mengobati rasa rindu ibu dan anak kami. Kami sadar perjalanan ini tak semestinya kami lakukan. Memgingat saat itu masih gencar-gencarnya terjadi pandemic. Hampir di perjalanan siang hari saat kami belum mencapai tujuan, beberapa kali ada pos pemeriksaan. Kendaraan pribadi hanya di periksa isi penumpangnya, dan selanjutnya mobil disemprot dengan desinfectan. Sementara kendaraan umum harus berhenti dan diperiksa semua penumpangnya satu persatu. Selama sekitar 5 hari berada di kampong, kami tidak bisa pergi kemanapun. Kami tetap melaksanakan tugas dan pekerjaan kami secara daring. Tidak sampai seminggu, kami memutuskan untuk kembali ke Bekasi. 

Bertolak belakang dengan perjalanan saat pulang kampong. Ketika kami kembali ke Bekasi, perjalanan begitu lancer. Dan bedanya masjid-masjid telah ditutup dari para pengunjung, jadi kami hanya sekali berhenti untuk sholat dan makan di Pom Bensin. Dan Alhamdulillah perjalan saat balik hanya membutuhkan waktu 8 jam. Cepat sekali bukan?

Biodata Singkat


Ari susanah adalah seorang guru Mata Pelajaran Bahasa Inggris di SMPN 5 Tambun Selatan Kabupaten Bekasi Jawa Barat. Hobinya menulis membuat dirinya aktif mengikuti berbagai event menulis buku, baik buku tunggal dan antologi. Dia telah menulis dua buku tunggal dan 18 buku antologi puisi, cerpen, kumpulan pantun, dan beberapa artikel pendidikan dan kebudayaan. Ibu guru yang tinggal di Perum Pesona Mutiara Tambun 1 ini dapat dihubungi melalui Ig. Ari_2111, FB Ari Susanah, email arisusanah3111@gmail.com



Assalamualaikum, perkenalkan nama saya Ari Susanah. Saya tinggal di Kabupaten Bekasi Tambun Selatan desa Sumberjaya. Saya menikah, punya 4 orang anak. Profesi saya adalah guru. Saya telah menerbitk…

5 komentar

  1. Tulisan yang menarik. Mdh2an menjaga keistikomahan. Aamiin
    1. Terimakasih pak Emcho
  2. Tulisan kisah sangat menarik. Semangat terus berkarya, salam literasi
    1. Terimakasih pak Syaiful
  3. Syaiful Hidayat
    Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
© Ari Susanah Blog. All rights reserved. Developed by Jago Desain